

Di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, digitalisasi pembelajaran berhasil menjadi solusi atas beberapa tantangan pendidikan. Satu di antaranya adalah kekurangan guru di SD dan SMP. Hal ini disampaikan Dedie A Rachim, Wali Kota Bogor, saat menjadi narasumber dalam acara Rapat Koordinasi Kepala Daerah di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten.
Menurut Dedie, penyebab kekurangan guru itu karena mayoritas dari mereka telah memasuki usia pensiun, sementara jumlah murid makin bertambah seiring arus urbanisasi di Kota Bogor
Atas tantangan itu, Dedie beserta jajarannya melakukan beberapa terobosan, mulai dari merger sekolah, pemadatan rombongan belajar, program kampus mengajar, hingga digitalisasi pembelajaran.
Mulanya, Dedie mewujudkan digitalisasi pembelajaran dengan membuat studio pembelajaran yang ditempatkan di Kantor Dinas Pendidikan Kota Bogor. Studio pembelajaran itu diisi oleh guru dan disiarkan secara langsung serta dapat diakses oleh warga sekolah.
“Jadi ini solusi atas tantangan kekurangan guru tersebut,” ujar Dedie.
Kini, seiring kehadiran digitalisasi pembelajaran yang merupakan satu dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang diluncurkan Presiden Prabowo, tantangan yang dihadapi Dedie makin ringan. Lebih-lebih, digitalisasi pembelajaran juga menyediakan Interactive Flat Panel (IFP) dengan konten pembelajaran yang sangat menunjang perkembangan pengetahuan para murid.
Selain Kota Bogor, digitalisasi pembelajaran juga menjadi solusi di Kalimantan Tengah. Hal ini disampaikan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Edy Pratowo, saat menjadi narasumber bersama Wali Kota Bogor tersebut.
Menurut Edy, Kalimantan Tengah memiliki luas wilayah sekitar 152.443,91 km², dan menjadikannya sebagai provinsi terluas di Indonesia.
Luas wilayah itu, ternyata melahirkan sejumlah tantangan di dunia pendidikan, khususnya masalah keterjangkauan atau akses. Selain jarak antarwilayah yang berjauhan, sebagian kontur tanah wilayah dengan jumlah penduduk tidak sampai 3 juta jiwa ini, berupa tanah gambut dan rawa sehingga sulit dilewati. Ada juga sungai-sungai yang luas dan perbukitan.
Mengingat hal itu, untuk sektor pendidikan, Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran, mendorong pembangunan dari desa.
“Saya tidak mau anak-anak di pedalaman tidak sekolah. Begitu juga dengan kesehatan, saya tidak mau anak-anak pedalaman tidak bisa berobat dan tidak bisa makan. Saya ingin anak-anak pedalaman bahagia dan sejahtera," ujar Edy menirukan ucapan Gubernur Kalimantan Tengah.
Berangkat dari hal tersebut, Edy beserta jajarannya mengaku sepakat terhadap program digitalisasi pembelajaran, karena terbukti menjadi solusi atas masalah akses di Kalimantan Tengah.
“Saat itu, kami langsung berkoordinasi dengan kementerian pendidikan untuk program digitalisasi pembelajaran,” katanya.
Tahun 2024, di Kalimantan Tengah ada 1.198 papan tulis interaktif untuk setiap kelas jenjang SMA/SMK/SKH. “Tahun 2025, ada papan tulis interaktif sebanyak 3.141 unit, sekaligus penambahan panel surya 874 set dan penambahan layanan internet satelit 321 unit,” kata Edy.
Kehadiran panel surya merupakan solusi atas keterbatasan sumber daya sekolah di Kalimantan Tengah, yang sebagian belum terhubung dengan listrik PLN.
Sementara itu, Nugraheni Triastuti, Kepala BBPMP Provinsi Jawa Tengah, mengaku kagum atas manfaat digitalisasi pembelajaran yang terbukti solutif, dan berhasil mengatasi beberapa permasalahan di Kota Bogor dan Kalimantan Tengah.
Menyadari hal itu, Nugraheni yang saat itu menjadi moderator, mengajukan pertanyaan kepada Wempi Wellem Wama, Perwakilan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), tentang tindak lanjut dari praktik baik yang terjadi di dua daerah tersebut.
Menjawab pertanyaan itu, Wempi yang notabene juga merupakan Bupati Malinau, menyatakan bahwa ia bersama anggota APKASI akan menyosialisasikan kedua praktik baik tersebut kepada seluruh kepala daerah di Indonesia, dengan harapan dapat memberi inspirasi pada daerah-daerah yang masih mengalami kesulitan di bidang pendidikan.*

