[caption id="attachment_6040" align="aligncenter" width="300"] Hamid Muhammad (ke-2 dari kiri) saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/12/2014).[/caption]
Jakarta (Dikdas): Mulai Desember 2013, Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama dengan Uni Eropa melaksanakan Program Peningkatan Kapasitas Penerapan Standar Pelayanan Minimal (PKP-SPM) Pendidikan Dasar. Program ini diimplementasikan di 110 kabupaten/kota menggunakan dana hibah dari Uni Eropa senilai Rp 600 miliar dan dikelola oleh Asian Development Bank.
Program ini, menurut Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, bertujuan untuk melihat berapa jumlah Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah yang telah memenuhi beberapa indikator standar SPM dari total 27 indikator.
“Ini akan menjadi basis bagi kita di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk memberikan layanan kepada sekolah-sekolah,” ujarnya saat menggelar konferensi pers di Ruang Sidang Gedung E lantai 5, Kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Kamis, 11 Desember 2014. Konferensi pers digelar usai acara paparan tentang program PKP-SPM, dihadiri oleh perwakilan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kemenag, Uni Eropa, dan ADB.
Menurut Hamid, dengan memetakan sekolah-sekolah yang menjadi objek survey, akan diperoleh model pemenuhan SPM di sekolah. Model inilah yang kemudian akan didesiminasi ke kabupaten lain yang belum tersentuh program ini. Pemanfaatan dana hibah akan dilaksanakan pada 2015-2016 dan berakhir pada Februari 2017.
Tujuan program ini, tambahnya, untuk meningkatkan kesadaran Pemerintah Daerah terkait pengelolaan sekolah yang menjadi tanggung jawabnya. Semestinya Pemda tak sekadar menerima kewenangan sebagai konsekuensi penerapan otonomi daerah. “Ada kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi. Otonomi daerah sudah 14 tahun, tetapi persoalan-persoalan mendasar di daerah belum banyak berubah,” ungkap Hamid.
Pemenuhan SPM, Hamid melanjutkan, adalah tugas Pemda. Pemerintah Pusat sekadar memfasilitasi agar Pemda memiliki kesadaran penuh untuk memenuhi SPM yang telah ditetapkan. Kegiatan survey seperti PKP-SPM, ujarnya, sudah banyak dilakukan, namun sayang masih dianggap biasa saja. Persoalan seputar dunia pendidikan hingga kini belum beranjak dari masalah kekurangan guru, kualifikasi guru yang tak kunjung terpenuhi, dan fasilitas belajar yang rusak.
“Rehab SD sudah mulai tahun 2003, sejak DAK pertama kali diluncurkan. Tapi sampai sekarang, persoalan sekolah rusak tidak pernah selesai, padahal setiap tahun ada Rp 10 triliun yang kita berikan ke Pemda untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu,” kata Hamid.
Program ini, tegas Hamid, akan ditindaklanjuti kendati tidak dimaksudkan untuk memenuhi semua kekurangan dalam pemenuhan SPM. Walau demikian, ia berharap pemetaan ini mampu meningkatkan kepedulian Pemda dan masyarakat terhadap SPM di daerahnya masing-masing.
Menurut Subandi, Direktur Pendidikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dari sisi perencanaan, SPM akan digunakan untuk mendukung Program Indonesia Pintar melalui Wajib Belajar 12 Tahun. Wajib Belajar 12 Tahun dalam dokumen perencanaan, tambahnya, dibagi menjadi dua hal besar.
“Pertama, pemenuhan hak seluruh penduduk untuk mendapatkan pendidikan dasar. Kedua, meningkatkan akses penduduk untuk mendapatkan pendidikan menengah yang berkualitas,” ucapnya.* (Billy Antoro)